Selasa, 07 Mei 2013

Tere Liye : Berpikir Panjang

Dalam dunia perbankan, ada sebuah wisdom yang jangan coba dilanggar, atau perusahaan kita bisa mengalami masalah serius menjurus bangkrut. Yaitu: jangan pernah menggunakan pinjaman jangka pendek untuk membiayai investasi jangka panjang. Karena itu nggak matching. Kita ingin membangun pabrik, tidak punya uangnya, lantas pinjam ke bank, hanya dikasih jangka waktu setahun. Itu berbahaya jika tetap digunakan. Pabriknya bahkan belum jadi setahun, uangnya sudah harus dikembalikan. Nah, berbeda kasus jika pinjamannya jangka panjang, obligasi sepuluh tahun misalnya. Pabriknya sudah beroperasi, sudah menghasilkan, uangnya bisa dikembalikan. Tidak masalah.

Sebenarnya, dalam hidup kita, wisdom serupa ini berserakan di mana-mana, tidak hanya di text book manajamen keuangan. Apa yang sedang kita lakukan? Apa yang ingin kita lakukan? Mau kemana? Mau ngapain? Selalu saja dalam kaca mata waktu konteksnya dua, jangka panjang, atau jangka pendek.

Pendidikan misalnya, orang2 yang terbiasa berpikir pendek, hanya menerjemahkannya dengan ijasah, lulus, dapat kerja. Tapi orang2 yang berpikir panjang, menganggap pendidikan adalah proses tiada henti memperoleh ilmu yang bermanfaat. Never ending story. Pekerjaan contoh berikutnya, orang2 yang terbiasa berpikir pendek, maka hanya naksir gaji dan materi, tapi orang2 yang berpikir panjang, menilai pekerjaan sebagai profesi jangka panjang yang memberikan kebahagiaan. Itu benar, siapa sih yang tidak mau jalan pintas? Pasti mau semua. Tapi jangan lupakan sisi jangka panjangnya. Boleh jadi, jalan pintas yang kita ambil, menguntungkan di momen2 sekarang, tapi seiring waktu berlalu, kita sebenarnya semakin rugi, kehilangan daya saing, bahkan benar2 tertinggal jauh, hanya bisa menonton tidak bisa melakukan apapun lagi.

Berpikir panjang juga memberikan pemahaman baik atas situasi tertentu. Hei, kita boleh saja hepi sekarang, senang melakukan sesuatu yang melenakan, seolah bahagia benar, tapi jangka panjang kita rugi sendiri. Hei, kita boleh saja merasa lebih keren sekarang, menganggap orang lain kuper, nggak gaul, tertawa bahak, tapi jangka panjang, boleh jadi kitalah yang terdiam, ditertawakan banyak orang.

Maka, sungguh penting sekali memikirkan apakah kita sedang mengurus keperluan jangka panjang kita, atau hanya fokus pada hal2 bersifat temporer. Sekali kita yakin bahwa itu bermanfaat untuk masa depan kita, maka jangan pedulikan lagi omongan orang lain, pun termasuk bisik sesat dan ragu2 dari diri sendiri. Kitalah yang tahu persis isi hati kita, bukan? Termasuk rencana2 kita? Buahnya, insya Allah, akan kita petik kelak, sepanjang tekun dan bersabar.

Berpikir pendek, berpikir jangka panjang ini, dalam sebuah pribahasa klasik pernah ditulis dengan sangat baik sbb: jika rencana kita hanya hitungan bulan, cukup tanam saja padi. Jika rencana kita hitungan puluhan tahun, maka mulailah menanam pohon. Tapi sungguh, jika rencana kita adalah ratusan tahun, maka mulailah memberikan pendidikan yang baik bagi siapapun, termasuk bagi diri sendiri.

Maka semoga kita tidak termasuk golongan orang2 yang tertipu oleh indahnya godaan kepentingan/kesenangan sesaat. Lupa janji masa depan yang lebih lama, awet dan tidak bisa diulang lagi.

Tere Liye: Kenapa Tidak

Kenapa Tuhan tidak memberikan mekanisme sederhana: jika orang berbohong, maka hidungnya akan bertambah panjang. Macam Pinokio itu, semakin banyak bohongnya, semakin panjang hidungnya. Keren bukan? Dengan begitu, tidak akan ada yang coba-coba berdusta.

Kenapa Tuhan tidak memberikan mekanisme simpel: jika orang mencuri, maka kupingnya akan semakin lebar. Semakin sering dia mencuri, macam mencuri waktu kerja, asyik main internetan pas jam kerja, kupingnya semakin lebaaaar, sudah kayak jendela rumah, atau kayak daun talas, gede banget. Keren, kan? Dengan begitu, tidak akan ada yang coba-coba mencuri.

Kenapa Tuhan tidak memberikan mekanisme kecil: jika orang bergunjing, suka menjelek2an, suka berkata jorok, tukang fitnah, dsbgnya, bibirnya tambah memble. Semakin sering, maka bibirnya dower ampun2an, sampai menjuntai ke lantai saking dowernya. Yakin deh, orang2 pasti kapok, nggak akan berani coba2.

Kenapa?

Atau, kenapa Tuhan tidak memberikan mekanisme canggih: jika orang berbuat jahat, macam pemerkosa, tiba-tiba saja petir menyambar dari langit, membakar tubuhnya hingga jadi abu. Atau jika ada orang yang membunuh, merampok, tiba-tiba tanah terbelah, dan dia ditelan mentah2, musnah sudah dari muka bumi? Apa susahnya bagi Tuhan yang maha perkasa menciptakan mekanisme itu? Tapi kenapa tidak ada?

Jawaban persisnya saya tidak tahu. Tapi saya menggigit kuat2, bahwa Allah selalu punya rencana terbaik bagi semua orang. Pertanyaan2 ini tidak dalam rangka mempertanyakan banyak hal lantas kehilangan esensi iman, pertanyaan2 ini justeru menumbuhkan kesadaran betapa tingginya Allah, dan memperkokoh keyakinan dalam hati. Menambah kecintaan atas agama ini.

Maka, jawabannya, mungkin karena Allah memberikan kita semua kesempatan untuk berubah. Allah menutup aib kita, menutup dusta kita, maksiat, kebiasaan buruk kita, agar kita semua sempat berubah. Sungguh kasih sayang Allah itu tidak terhingga. Coba lihat, kita menantang Allah, dengan sombong sekali melakukan kejahatan, nyatanya tidak diambil oksigen di sekitar kita, manusia tetap bisa bernafas. Kita munafik sekali, barusan korup, kemudian shalat santai2 saja, nyatanya, Allah tidak membuat jantung kita berhenti berdetak. Padahal, bukankah kita seperti sedang mengolok2 Allah, memangnya Allah tidak bisa melihat kita korup barusan seperti Allah melihat kita shalat?

Maka, jawabannya, mungkin karena Allah selalu menyayangi kita semua. Pintu untuk memperbaiki selalu terbuka, selalu, selalu, dan selalu. Semoga kita tidak terlambat melakukannya. Karena sekali pintu itu sudah tertutup. Aduhai, sungguh azab dari langit itu pedih sekali. Lebih pedih dibanding disambar petir menjadi debu, lebih pedih dibanding ditelan bumi. Dan jelas, tidak ada orang yang bisa lari menghindar.

Tere Liye : Jatuh Hati

Ketika kita marah dengan Tuhan, benci sekali atas takdir Tuhan, bilang Tuhan tidak adil, apakah kita seketika berhenti bernafas? Diambil oleh Tuhan oksigen di sekitar kita? Apakah kita berhenti minum? Diambil seketika oleh Tuhan H2O itu di sekitar kita? Tidak, kan? Padahal mudah saja.

Itulah kasih sayang Tuhan.

Ketika kita sedih sekali, sedih sesedihnya atas banyak hal, kecewa, kecewa sampai mentok mentoknya, apakah lantas jantung kita berhenti berdetak? Ngambek jantungnya, karena kita sedang sedih. Ngambek paru-paru kita, karena kita sedang kecewa. Tidak, kan? Padahal jelas, jantung dan paru-paru, pun termasuk kedipan mata, itu tidak kita kendalikan, itu 'sistem otomatis' hadiah dari Tuhan. Mudah saja kalau Tuhan 'bosan' melihat kita sedih terus, nggak maju2, disuruh berhenti semuanya. Tapi tidak, kan?

Itulah kasih sayang Tuhan.

Di dunia nyata, jika kalian membuat orang berkuasa tersinggung, maka bisa berabe. Di perusahaan misalnya, bisa dipecat, diusir. Di sekolah, bisa di DO, disuruh keluar. Atau tersangkut urusan dengan pihak berwajib, bikin mereka marah semarahnya, wah, ujungnya bisa dimasukkan ke kerangkeng besi. Atau yang simpel, melanggar peraturan page ini, langsung saya kandangkan, tidak bisa komen lagi. Itulah kasih sayang manusia, terbatas, bahkan yang lapang hatinya, luas pemahamannya, tetap terbatas.

Tidak ada yang lebih menakjubkan dibandingkan menafakuri hakikat 'kasih sayang Allah'. Sungguh, kasih sayangnya menggapai sudut-sudut gelap, orang2 jahat, bahkan para perusak di muka bumi sekalipun. Dan kasih sayangnya, tidak terbilang, tidak terkatakan. Kita semua tahu, salah satu turunan dari sifat kasih sayang adalah memberi. Maka lihatlah begitu banyak yang diberikan Allah kepada kita, gratis, tanpa imbalan. Lantas apakah kita sudah membalasnya? Entahlah.

Saya kadang tidak bisa menulis hal ini panjang lebar, karena kadang tiba2 saja saya kehabisan energi. Sesak oleh sesuatu. Maka akan saya tutup saja catatan ini dengan hal simpel: Hei, kita bisa jatuh hati pada orang yg terus menerus memberikan kebaikan. Sekeras apapun batu itu, tetap berlubang oleh tetes air terus menerus. Padahal apalah arti tetes air kecil dibanding batu. Kita bisa jatuh hati pada orang yg terus menerus peduli pada kita. Sesulit apapun meruntuhkan gunung perasaan, satu persatu dicungkil badannya, pasti akan rubuh pula gunungnya.

Kita jatuh hati karena itu bukan?

Lantas, apakah kita tidak jatuh hati pada yg maha pemberi kebaikan, duhai, setiap hari hidup kita diberi oksigen utk bernafas, air minum utk melepas dahaga, kesehatan, dan tak terhitung nikmat lainnya. Lantas, apakah kita tidak jatuh hati pada yg maha terus menerus peduli, aduhai, setiap hari kita dijaga dari marabahaya, dilapangkan jalan, dijauhkan dari penghalang, dan tak terhitung kepedulian lainnya, siang malam.

Tidakkah kita jatuh hati pada Tuhan kita?

*Tere Lije